Mengurangi Takaran dan Timbangan, Untung atau Buntung?
Salah satu jalan yang diberikan Allah kepada manusia untuk memenuhi kebutuhannya ialah dengan kegiatan jual beli. Nah dalam jual beli ini mungkin kita tidak asing dengan prinsip ekonomi yakni “memperoleh hasil sebesar-besarnya, dengan pengorbanan sekecil-kecilnya.” Karena itu, kadang mungkin kita menemui ada penjual yang berlaku curang salah satunya dengan mengurangi takaran dan timbangan. Lalu, Bagaimanakah Islam memandang hal ini?
Al-Quran memperhatikan penting masalah ini sebagai bagian dari muamalah. Karena itu, ia menjadikannya sebagai salah satu dari sepuluh wasiat yang ada dalam surah al-An'am:
- Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekadar kesanggupannya, (Q.S. al-An'am [6]: 152).
- Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbang lah dengan neraca yang benar. Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya, (Q.S. al-Isra [17]: 35).
- Kecelakaan besar lah bagi orang-orang yang curang. (Yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain, mereka minta dipenuhi. Dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. Tidaklah orang itu menyangka bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan pada suatu hari yang besar, (yaitu) hari ketika manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam? (Q.S. al-Muthaffiifin [83]: 1-6).
Seorang muslim hendaknya berusaha berlaku adil semaksimal mungkin. Sebab, berlaku adil ini jarang sekali bisa diwujudkan. Oleh karena itu, setelah menyampaikan perintah untuk memenuhi timbangan dan takaran dengan adil, Al-Quran menyatakan, Kami tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekadar kesanggupannya.
Dikisahkan dalam Al-Quran tentang suatu kaum yang curang dalam bermuamalah dan tidak jujur dalam urusan takaran dan timbangan. Selalu mengurangi hak orang lain. Allah kemudian mengutus seorang Rasul untuk mengembalikan mereka ke jalan keadilan dan kebaikan, selain mengembalikan mereka kepada tauhid. Kaum yang dimaksud adalah kaum Nabi Syu’aib. Mereka kemudian diseru dan diperingatkan, Sempurnakanlah takaran dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang merugikan. Dan timbanglah dengan timbangan yang lurus. Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan, (Q.S. al-Isra' [17]: 18).
Model muamalah seperti inilah yang seharusnya ditiru oleh setiap muslim, baik dalam menjalani kehidupan, menjalin hubungan, maupun bertransaksi. Dengan kata lain, seorang muslim tidak boleh menimbang dengan dua timbangan atau menakar dengan dua takaran: takaran pribadi dan takaran umum; timbangan yang menguntungkan dirinya serta orang yang disenanginya dan timbangan untuk orang lain secara umum. Timbangan untuk diri sendiri dan para pengikutnya, dia penuhi, sedangkan untuk orang lain, dia rugikan dan dia kurangi.
Tentu, baik disadari atau pun tidak, rezeki yang diperoleh dari hasil berlaku adil dan berlaku curang tentulah memiliki perbedaan. Selain itu, ada ketenangan yang tidak didapatkan orang yang berlaku curang, melainkan untung yang mungkin tidak selisih banyak dibanding jika ia berlaku adil. Sesungguhnya harta bisa dicari, sedang ketenangan dan keberkahan terlalu berharga untuk sekadar menuruti ambisi.
Rujukan:
Al-Halal wa al-Haram fi al-Islam, Prof. Dr. Yusuf al-Qaradhawi
Share this article on


Today Quote:
When we repair our relationship with Allah, He repairs everything else for us.
Posted in taiwanhalal.com